SUATU ketika Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Dzar al-Ghifari r.a.,
يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ: نَعَمْ . قَالَ: وَتَرَى قِلَّةَ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه. قَالَ: إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ، وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْب.ِ
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “sesungguhnya kekayaan sejati adalah kaya(nya) hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan kefakiran sejati adalah fakir(nya) hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (Hadits Riwayat Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibbân, juz II, hal. 460, hadits no. 685. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Nabi shalllallâhu ‘alaihi wasallam lalu melanjutkan pesan moralnya,
كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ.
“Jadilah engkau orang yang wara’ , niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (Qanâ’ah), niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah r.a., Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 229, hadits no. 4217).
Sebab Allah SWT menegaskan,
... وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“... dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qanâ’ah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur.
Qanâ’ah berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezeki atau apa pun yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita.
Orang yang bersikap qanâ’ah, menurut al-Jahizh (dalam kitab Al-Bukhala’) selalu merasa berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan politik.
Karena setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi, sebagaimana firmah Allah,
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta .” (QS Al-Ādiyât [100]: 8).
Ada 3 (tiga) manfaat yang diperoleh dari sikap qanâ’ah:
Pertama, qanâ’ah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakkal dan bersyukur kepada Allah SWT.
Kedua, qanâ’ah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa.
Ketiga, qanâ’ah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan.
Sikap ini juga menjadi terapi mental penyakit hati seperti: tama' (rakus) , hasad (iri hati), namîmah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik.
Qanâ’ah juga dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (Jw.: legawa), zuhud (asketis), dan rasa percaya diri bahwa rezeki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang.
Karena itu, belajar untuk bersikap Qanâ’ah dalam menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT. Tanpa belajar qanâ’ah, manusia cenderung menjadi serakah, tama’ (rakus) dan korup.
Lebih-lebih jika ketiadaan aanâ’ah itu disandingkan dengan kekuasaan politik, maka yang bersangkutan akan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.
Imam asy-Syafi’i mengatakan: "Jika engkau mempunyai hati yang qanâ’ah, maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja." Perkataan Imam asy-Syafi'i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhahu, yang menyatakan bahwa "qanâ’ah itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna."
Jabatan dan kekayaan itu datang silih berganti, dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanâ’ah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tama’ (rakus), ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.
Belajar menjadi orang yang bersikap Qanâ’ah sebenarnya tidak sulit. Menurut Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, dalam bukunya, al-Qanâ’ah Mafhûmuhâ, Manâfi’uhâ, al-Tharîq Ilaihâ, ada beberapa kiat menjadi Qanâ’ah.
Pertama, pengakuan secara tulus bahwa Allah itu Mahaadil dalam membagi rezeki bagi semua makhluk-Nya, termasuk manusia.
Rezeki yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak diukur menurut tingkat pendidikan, kedudukan, dan jabatan. Rezeki tidak selalu berbanding lurus dengan status sosial, jabatan, dan jenjang pendidikan.
Kedua, melatih diri untuk tidak iri dan dengki terhadap kelebihan dan kekayaan yang diberikan kepada orang lain. Sebab iri dan dengki hanya akan menambah penderitaan jiwa dan pengikisan amal kebajikan si pendengki.
Kekayaan yang diberikan oleh Allah merupakan ujian bagi yang menerimanya: apakah dia bisa memanfaatkan dan mensyukurinya dengan baik atau justeru mengingkarinya?
Ketiga, menyadari sepenuh hati jabatan dan kekayaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Karena itu, ambisi berlebihan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, khususnya kekuasaan politik, hanya akan memperturutkan nafsu politik daripada mengedepankan kearifan dan peningkatan kinerja demi kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.
Keempat, menyikapi dan meresponi segala anugerah, kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dengan meningkatkan rasa syukur. Yakinilah bahwa yang membuat pemberian Allah itu bermakna dan bernilai tambah adalah syukur.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim [14]: 7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar